Cari Blog Ini

Jumat, 07 Maret 2008

Nasionalisme Kita Masa Kini

SEMANGAT nasionalisme bangsa kita kembali diperlihatkan masyarakat bangsa ini
dalam kasus ketegangan antara Indonesia-Malaysia beberapa hari belakangan ini,
perihal Pulau Ambalat di Laut Sulawesi, Wilayah Kalimantan Timur. Sebuah pulau
yang berada di wilayah kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) tetapi masih
diklaim Malaysia sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya.

Lahirnya posko atau front perlawanan terhadap Malaysia di Sulawesi Selatan yang
disebut Front Ganyang Malaysia (FKG) dan Gerakan Masyarakat Anti Arogansi Solo
(Gemars) dan berbagai wacana publik di media massa dan di forum-forum lainnya
beberapa hari belakangan ini, jelas memperlihatkan semangat nasionalisme itu.

Ekspresi semangat nasionalisme tersebut memang sangat baik, sebagai perwujudan
sebuah bangsa yang sangat menjunjung tinggi harga dirinya. Dan ini juga yang
menjadi pelatuk yang sangat baik di mana kasus Ambalat telah membangkitkan
kembali semangat nasionalisme anak-anak bangsa yang sekian lama agak memudar
rasa kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Dan memudarnya rasa kebanggaan bagi
bangsa Indonesia inilah yang sesungguhnya menjadi problema nasionalisme itu
sendiri.

Dalam hal mana, nasionalisme adalah an awareness of membership in a nation
together with a desire to achieve,
maintain, and perpetuate the identity, prosperity, and
power of the nation. Suatu kesadaran sebagai bangsa yang disertai oleh hasrat
untuk memelihara, melestarikan dan mengajukan identitas, integritas serta
ketangguhan bangsa tersebut (Mostafa Reja'i, 1975).

Artinya, nasionalisme yang diwujudkan atau diaktualisasikan dalam bentuk
tindakan untuk memelihara dan melestarikan identitas dan terus berjuang untuk
memajukan bangsa dan negara, dengan membasmi setiap kendala yang menghalangi di
jalan kemajuan, yang selama beberapa tahun ini tidak kita lakukan, yang
akhirnya memudarkan rasa kebanggaan kita tersebut.


Memudarnya Nasionalisme

Memudarnya rasa kebanggaan bagi bangsa selama beberapa tahun belakangan ini,
sesungguhnya disulut oleh menguatnya sentimen kedaerahan dan semangat
primordialisme pascakrisis.

Suatu sikap yang sedikit banyak disebabkan oleh kekecewaan sebagian besar
anggota dan kelompok masyarakat bahwa kesepakatan bersama (contract social)
yang mengandung nilai-nilai seperti keadilan dan perikemanusiaan dan musyawarah
kerap hanya menjadi retorika kosong.

Pemberantasan korupsi terhadap para koruptor kelas kakap dan penegakan hukum
dan keadilan yang sebenarnya sebagai sarana strategis untuk membangkitkan
semangat cinta tanah air dalam diri anak-anak bangsa, tetapi semuanya tampak
bohong belaka. Ini membuat generasi sekarang menjadi gamang terhadap bangsa dan
negaranya sendiri.

Tidak mengherankan semangat solidaritas dan kebersamaan pun terasa semakin
hilang sejak beberapa dekade terakhir. Boleh jadi, penyebab dari memudarnya
rasa nasionalisme ini juga disebabkan oleh karena paradigma tentang bangsa dan
nasionalisme yang kita anut, berjalan di tempat.

Padahal, perkembangan nasional dan global menuntut paradigma yang disesuaikan
dari waktu ke waktu, sesuai
dengan keadaan bangsa dan negara yang berdaulat. Dari
dalam itulah lahir kesadaran berbangsa dan bernegara yang pada hakikatnya
merupakan kesadaran politik yang normatif.

Dari sini pula kesadaran yang merupakan janin suatu ideologi yang disebut
nasionalisme. Dalam arti, nasionalisme sebagai suatu paham yang mengakui
kebenaran pikiran bahwa setiap bangsa -demi kejayaannya-seharusnya bersatu
bulat dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari nasionalisme inilah lahirnya ide dan usaha perjuangan untuk merealisasi
negara bangsa. Di Indonesia, ide dan usaha seperti ini berkembang kuat pada
tahun 1930-an dan memuncak pada tahun 1940an.

Yang kemudian menjadi problem besar di sini adalah, apakah tegaknya suatu
nation yang pada hakikatnya merupakan suatu produk kesadaran politik bernegara
itu dapat dilakukan tanpa landasan kultur dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara?

Pertanyaan ini penting dijawab. Sebab, tantangan yang paling berat bagi sebuah
negara yang berdaulat sesungguhnya adalah bukan terutama pada sikap ekspansif
dari negara tetangga seperti Malaysia dalam kasus Pulau Ambalat ini, tetapi
lebih pada faktor kultur atau pemeliharaan budaya, sikap hidup atau perilaku
hidup sehari-hari, seperti bagaimana kita menciptakan keadilan, perikemanusiaan
dan lain-lain di dalam bangsa dan negara sendiri.

Selain itu, karena dalam era modern ini, setiap bangsa semakin menghormati
kedaulatan bangsa lain. Meskipun dalam beberapa kasus di dunia, ada negara yang
masih kurang menghormati kedaulatan negara lain.


Nasionalisme Masa Kini

Dengan memudarnya nasionalisme, yang terutama disebabkan oleh begitu tingginya
ketidakadilan; korupsi yang merajalela dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
yang tidak diselesaikan secara tuntas lewat jalur hukum, dan lain-lain, maka
musuh bangsa yang paling utama sekarang ini adalah bukan penjajah, bukan sikap
ekspansif atau sikap agresor negara tetangga, melainkan birokrasi yang korup,
ketidakadilan dan/atau ketidakmerataan ekonomi dan politik, kemiskinan,
kekuasaan yang sewenang-wenang dan sebagainya.

Pemberantasan korupsi yang hanya retorika belaka, pelanggaran HAM yang tidak
diselesaikan lewat jalur hukum hingga tuntas, ketidakadilan antara pusat dan
daerah dan sebagainya harus segera diperhatikan secara
serius.

Nasionalisme dengan munculnya gerakan perjuangan fisik melawan Malaysia
misalnya, bila Malaysia nekat mengganggu kedaulatan RI dengan mengambil atau
merampas Pulau Ambalat, merupakan suatu perilaku atau sikap kita yang sangat
terpuji. Kita semua jelas sangat mendukung setiap usaha TNI dan para
sukarelawan yang berusaha menjaga keutuhan kedaulatan negara RI.

Tetapi, kita tidak bisa lengah sedikit pun untuk memerangi musuh bangsa kita
sendiri yang korup, menyalahgunakan kekuasaan dan sebagainya.

Karena nasionalisme kita sekarang bukan lagi berkaitan dengan penjajah, atau
terutama terhadap perilaku ekspansif atau agresor-negara tetangga, melainkan
harus dikaitkan dengan keinginan untuk memerangi semua bentuk penyelewengan,
ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM dan lain-lain. Artinya,
nasionalisme saat ini adalah usaha untuk mempertahankan eksistensi bangsa dan
negara dari kehancuran akibat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Perilaku korup, menggelapkan uang negara, memanfaatkan segala fasilitas dalam
lingkup kekuasaannya demi memperkaya diri, berperilaku sewenang-wenang dalam
menjalankan roda kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain,
gemar menerima dan menyogok -uang pelicin, uang semir, uang kopi dan
sebagainya, adalah perilaku antinasionalisme yang harus diberantas.

Dan pahlawan era sekarang bukan saja mereka yang berani menumpas agresor atau
penjajah, tetapi juga mereka yang berkata tidak terhadap korupsi dan berbagai
bentuk penyalahgunaan wewenang dan/atau kekuasaan itu. Pahlawan seperti ini
tidak kalah mulianya dengan pahlawan yang menang dari sebuah pertarungan fisik
melawan siapa pun yang mencoba mengganggu kedaulatan bangsa dan negara.

Jadi, yang harus menjadi catatan kita ke depan adalah
bagaimana menumbuhkan semangat nasionalisme -cinta tanah air dalam diri
anak-anak bangsa. Adalah semangat untuk berperilaku jujur, berdisiplin, tidak
korup dan berani untuk melawan segala bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan
kekuasaan dan lain-lain, di samping semangat dan keterampilan fisik seperti
militer untuk menghadapi setiap kekuatan yang mengganggu kedaulatan negara RI.

Sebuah kekuatan dan harga diri bangsa bukan terutama pada kekuatan angkatan
bersenjata dengan seluruh persenjataan perang yang canggih, melainkan juga atau
bahkan yang pertama adalah pada masyarakat bangsanya yang berkualitas dan
bermartabat.

Tidak ada komentar: